Tanda pertama
Dari Ibnu Umar Ra. ia berkata: “Pada
satu ketika dibawa ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sepotong
emas. Emas itu adalah emas zakat yang pertama sekali dibawa oleh Bani Sulaim dari
pertambangan mereka. Maka sahabat berkata: “Hai Rasulullah! Emas ini adalah
hasil dari tambang kita”. Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab,
“Nanti kamu akan dapati banyak tambang-tambang, dan yang akan menguasainya
adalah orang-orang jahat. (HR. Baihaqi)
Kita telah mulai melihat bahwa
penguasa-penguasa negara yang mengaku muslim namun mereka menyerahkan
penguasaan tambang minyak, emas, tembaga kepada kaum non muslim.
Tanda kedua
Dan Telah menceritakan kepada kami Qutaibah
bin Sa'id Telah menceritakan kepada kami Ya'qub bin Abdurrahman Al Qari
dari Suhail dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak akan terjadi hari
kiamat, sebelum harta kekayaan telah tertumpuk dan melimpah ruah, hingga seorang
laki-laki pergi ke mana-mana sambil membawa harta zakatnya, tetapi dia tidak
mendapatkan seorang pun yang bersedia menerima zakatnya itu. Dan sehingga tanah
Arab menjadi subur Makmur kembali dengan padang-padang rumput dan
sungai-sungai." (HR Muslim 1681)
Sekarang kita telah mulai
menyaksikan kebenaran sabda junjungan kita ini. Kita banyak melihat tanah Arab
yang dahulunya tandus dan kering kerontang tetapi sekarang telah mulai
menghijau dan ditumbuhi rumput-rumputan dan pohon-pohon kayu. Contohnya, Padang
Arafah yang ada di Mekkah al-Mukarramah yang dahulunya hanya dikenali sebagai
padang pasir tandus dan tidak ada pohon-pohonan. Sekarang ini Padang Arafah
mulai dipenuhi pohon-pohonan, sehingga kelihatan menghijau dan kita dapat
berteduh di bawah naungannya. Keadaan ini walaupun menyejukkan mata memandang
namun ia mengurangi gambaran keadaan padang Mahsyar, tempat berhimpunnya
seluruh makhluk pada hari qiamat nanti yang merupakan tujuan utama dan
pelajaran penting yang diambil dari ibadah wuquf jamaah Haji di Padang Arafah
pada setiap 9 Zulhijjah tahun Hijriyah.
Tanda ketiga.
Telah bercerita kepada kami Yahya bin Bukair telah
bercerita kepada kami Al Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihab
dari 'Urwah bin Az Zubair bahwa Zainab binti Abu Salamah
bercerita kepadanya dari Ummu Habibah binti Abu Sufyan dari Zainab
binti Jahsy radliallahu 'anhuma bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
datang kepadanya dengan gemetar sambil berkata: Laa ilaaha illallah, celakalah
bangsa Arab karena keburukan yang telah dekat, hari ini telah dibuka benteng
Ya'juj dan Ma'juj seperti ini. Beliau memberi isyarat dengan mendekatkan
telunjuknya dengan jari sebelahnya. Zainab binti Jahsy berkata, Aku bertanya;
Wahai Rasulullah, apakah kita akan binasa sedangkan di tengah-tengah kita banyak
orang-orang yang shalih?. Beliau menjawab: Ya, benar jika keburukan telah
merajalela. (HR Bukhari 3097 , 3331, 6535, 6602) (HR Muslim 128,
5129)
Ketika itu bangsa Arab, banyak orang
muslim tetapi tidak banyak lagi muslim yang shalih, di tanah Arab tidak banyak
lagi orang muslim yang mencapai maqom disisiNya
Tanda keempat
Dari Sahl bin Saad as-Sa ‘idi Ra. ia
berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Ya Allah! Jangan
Engkau pertemukan aku dan mudah-mudahan kamu (sahabat) tidak bertemu dengan
suatu zaman dikala para ulama sudah tidak diikuti lagi, dan orang yang
penyantun sudah tidak dihiraukan lagi. Hati mereka seperti hati orang Ajam
(pada fasiqnya), lidah mereka seperti lidah orang Arab (pada fasihnya).” (HR.
Ahmad)
Orang banyak mengikuti ulama yang
fasih berbahasa arab akan tetapi mereka tidak dapat menggunakan hati mereka
untuk memahami Al Qur’an dan Hadits.
Tanda kelima
Dari Ali bin Abi Thalib Ra. ia
berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.: “Sudah hampir
tiba suatu zaman, kala itu tidak ada lagi dari Islam kecuali hanya namanya, dan
tidak ada dari Al-Qur’an kecuali hanya tulisannya. Masjid-masjid mereka indah,
tetapi kosong dari hidayah. Ulama mereka adalah sejahat-jahat makhluk yang ada
di bawah kolong langit. Dari merekalah keluar fitnah, dan kepada mereka fitnah
itu akan kembali .” (HR. al-Baihaqi)
Orang banyak mengikuti ulama yang
berilmu namun kosong hidayah dan menebar fitnah.
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah
hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah
jauh”
Tanda keenam
Telah menceritakan kepada kami Isma'il
bin Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam
bin 'Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin 'Amru bin Al 'Ash
berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba,
akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila
sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan
orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka
sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98)
Keadaan orang banyak mengikuti
mereka yang berfatwa tanpa ilmu. Berfatwa menggunakan akal pikiran sendiri.
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya
sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”.
(HR. Ahmad)
Ilmu agama atau ilmuNya bukan
berasal dari akal pikiran manusia namun berasal dari lisannya Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam yang berasal dari apa yang telah diwahyukan oleh
Allah Azza wa Jalla.
Kemudian dari Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam disampaikan melalui lisan ke lisan ulama yang sholeh sampai
kepada hambaNya.
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak
ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya
dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Mereka yang berfatwa tanpa ilmu,
mereka memahami agama bersandarkan muthola'ah (menelaah kitab) dengan akal
pikirannya sendiri.
Ulama keturunan cucu Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam, Habib Munzir Al Musawa menyampaikan “Orang yang
berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui
kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika
ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak
faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya, maka oleh sebab itu jadi tidak
boleh baca dari buku, tentunya boleh baca buku apa saja boleh, namun kita harus
mempunyai satu guru yang kita bisa tanya jika kita mendapatkan masalah”
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad
merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa
berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya.”
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda…”Barangsiapa yg berkata mengenai
Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka”
(HR.Tirmidzi)
Imam Syafi’i ~rahimahullah
mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah
mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik
ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy
, quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki
susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan”
Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour
al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar
kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani
orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya
itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya
dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu
benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan“
Imam Malik ra berkata: “Janganlah
engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui
catatan (riwayat) pendidikannya (sanad ilmu)”
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan
ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa
(dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah
menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)
Hakikat makna hadits tersebut adalah
kita hanya boleh menyampaikan satu ayat yang diperoleh dari orang yang
disampaikan secara turun temurun sampai kepada lisannya Sayyidina Muhammad bin
Abdullah Shallallahu alaihi wasallam.
Kita tidak diperkenankan
menyampaikan apa yang kita pahami dengan akal pikiran sendiri dengan cara
membaca dan memahami namun kita sampaikan apa yang kita dengar dan pahami dari
lisan mereka yang sanad ilmunya tersambung kepada lisannya Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam karena hanya perkataan Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam yang merupakan kebenaran atau ilmuNya.
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam menyampaikan agama kepada Sahabat. Sahabat menyampaikan kepada
Tabi’in. Tabi’in menyampaikan pada Tabi’ut Tabi’in. Para Imam Mazhab yang
empat, pemimpin atau imam ijtihad kaum muslim pada umumnya, mereka berijtihad
dan beristinbat berlandaskan hasil bertalaqqi (mengaji ) pada Salafush Sholeh
Contoh sanad Ilmu atau sanad guru
Imam Syafi’i ra
1. Baginda Nabi Muhammad Shallallahu
alaihi wasallam
2. Baginda Abdullah bin Umar bin
Al-Khottob ra
3. Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin
Umar ra
4. Al-Imam Malik bin Anas ra
5. Al-Imam Syafei’ Muhammad bin
Idris ra
Tanda ketujuh
Telah menceritakan kepada kami Muhammad
bin Abbad dan Ibnu Abu Umar semuanya dari Marwan al-Fazari, Ibnu
Abbad berkata, telah menceritakan kepada kami Marwan dari Yazid
-yaitu Ibnu Kaisan- dari Abu Hazim dari Abu Hurairah dia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Islam muncul dalam
keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah
orang-orang yang terasing.” (HR Muslim 208)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
telah mengabarkan bahwa Islam pada akhirnya akan asing pula sebagaimana
pada awalnya karena pada umumnya kaum muslim walaupun mereka banyak dan
menjalankan perkara syariat namun mereka gagal mencapai maqom disisiNya, mereka
gagal menjadi muslim yang berakhlakul karimah, muslim yang sholeh, muslim yang
ihsan atau muslim yang bermakrifat , muslim yang menyaksikan Allah ta’ala
dengan hati mereka (ain bashiroh)
“Orang yang asing,
orang-orang yang berbuat kebajikan ketika manusia rusak atau orang-orang
shalih di antara banyaknya orang yang buruk, orang yang menyelisihinya lebih
banyak dari yang mentaatinya”. (HR. Ahmad)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah
bersabda “Sesungguhnya Islam itu pada mulanya datang dengan asing dan akan
kembali dengan asing lagi seperti pada mulanya datang. Maka berbahagialah bagi
orang-orang yang asing”. Beliau ditanya, “Ya Rasulullah, siapakah
orang-orang yang asing itu ?”. Beliau bersabda, “Mereka yang memperbaiki
dikala rusaknya manusia”. [HR. Ibnu Majah dan Thabrani]
Islam pada awalnya datang dengan
asing diantara manusia yang berakhlak buruk (non muslim / jahiliyah) .
Tujuan beragama adalah untuk menjadikan manusia yang berakhlakul karimah.
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan
Akhlak.” (HR Ahmad)
Beruntunglah orang orang yang asing
yakni orang yang sholeh diantara orang yang rusak / buruk maknanya
semakin akhir zaman maka semakin sedikit muslim yang mencapai maqom disisiNya
atau muslim yang sholeh, muslim yang ihsan, muslim yang bermakrifat, muslim
yang menyaksikan Allah ta’ala dengan hati mereka (ain bashiroh).
Imam Malik ~rahimahullah
menasehatkan agar kita menjalankan perkara syariat sekaligus menjalankan
tasawuf agar manusia tidak rusak dan menjadi manusia berakhlak baik
Imam Malik ~rahimahullah
menyampaikan nasehat (yang artinya) “Dia yang sedang tasawuf tanpa
mempelajari fiqih (menjalankan syariat) rusak keimanannya , sementara dia yang
belajar fiqih (menjalankan syariat) tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia,
hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar“
Begitupula Imam Syafi’i
~rahimahullah menasehatkan kita agar mencapai ke-sholeh-an sebagaimana salaf
yang sholeh adalah dengan menjalankan perkara syariat sebagaimana yang mereka
sampaikan dalam kitab fiqih sekaligus menjalankan tasawuf untuk mencapai muslim
yang baik, muslim yang sholeh, muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang
Ihsan
Imam Syafi’i ~rahimahullah
menyampaikan nasehat (yang artinya) ,”Berusahalah engkau menjadi seorang yang
mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat) dan juga menjalani tasawuf, dan
janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya
benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu
fiqih (menjalani syariat) tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak
dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf
tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat), maka bagaimana bisa
dia menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal. 47]
Sebelum belajar Tasawuf, Imam Ahmad
bin Hambal menegaskan kepada putranya, Abdullah ra. “Hai anakku, hendaknya
engkau berpijak pada hadits. Anda harus hati-hati bersama orang-orang yang
menamakan dirinya kaum Sufi. Karena kadang diantara mereka sangat bodoh dengan
agama.”
Namun ketika beliau berguru kepada
Abu Hamzah al-Baghdady as-Shufy, dan mengenal perilaku kaum Sufi, tiba-tiba dia
berkata pada putranya “Hai anakku hendaknya engkau bermajlis dengan para Sufi,
karena mereka bisa memberikan tambahan bekal pada kita, melalui ilmu yang
banyak, muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur
(Allah)” Beliau mengatakan, “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih
utama ketimbang kaum Sufi.” Lalu Imam Ahmad ditanya, “Bukanlah mereka sering
menikmati sama’ dan ekstase ?” Imam Ahmad menjawab, “Dakwah mereka adalah
bergembira bersama Allah dalam setiap saat…”
Imam Nawawi ~rahimahullah berkata : “ Pokok-pokok metode ajaran tasawwuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi maupun ramai, mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk di dalam penghadapan maupun saat mundur, ridha kepada Allah dari pemberian-Nya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah saat suka maupun duka “. (Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah wa Ushulut Tasawwuf halaman : 20, Imam Nawawi)
Imam Nawawi ~rahimahullah berkata : “ Pokok-pokok metode ajaran tasawwuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi maupun ramai, mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk di dalam penghadapan maupun saat mundur, ridha kepada Allah dari pemberian-Nya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah saat suka maupun duka “. (Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah wa Ushulut Tasawwuf halaman : 20, Imam Nawawi)
Sumber :
No comments:
Post a Comment