Written by Tim Sarkub | 14/03/2012 |
Keberhasilan
dakwah dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya tak akan terlepas dari
patokan-patokan yang telah diberikan dalam ajaran agama. Dan contoh terbaik
untuk itu adalah apa yang telah dibawa oleh para pendahulu mereka.
Dalam
meneladani para salaf, hal pertama yang paling penting diingat adalah masalah
adab. Mengenai pentingnya adab, Ibn Al-Mubarak mengatakan, “Kita
lebih butuh kepada sedikit adab daripada kepada banyak ilmu.” Seorang
ulama berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, sungguh engkau mempelajari
satu bab adab lebih aku sukai daripada engkau mempelajari tujuh puluh bab
ilmu.”
Ada
yang mengatakan, “Apabila seorang pengajar memiliki tiga hal, yakni
kesabaran, tawadhu’, dan akhlaq yang baik, sempurnalah nikmat yang dirasakan
oleh para muridnya. Dan apabila seorang murid memiliki tiga hal, yaitu akal,
adab, dan pemahaman yang baik, niscaya akan sempurnalah nikmat yang dirasakan
oleh pengajamya.” Demikian dikutip dari kitab Al-lhya’.
Dihikayatkan,
Abu Yazid Al-Busthami bermaksud mengunjungi seorang laki-laki yang dikatakan
memiliki kebaikan. Maka ia pun menunggunya di sebuah masjid. Lalu orang itu
keluar, kemudian meludah di masjid, yakni di dindingnya sebelah luar.
Melihat
itu, Al-Busthami pun pulang dan tidak jadi bertemu dengannya. la mengatakan, “Orang
yang tidak dapat memelihara adab syari’at tidak dapat dipercaya untuk menjaga
rahasia Allah.”
Al-lmam
Ahmad bin Zain Al-Habsyi mengatakan, “Hendaknya seorang penuntut jalan
akhirat senantiasa mencari-cari manfaat di mana pun berada, baik pada orang
yang ahli maupun bukan ahli, mau mengambil dari setiap orang bagaimana pun ia,
baik ia orang alim maupun orang awam. Karena, terkadang akhlaq yang bagus ia
dapati pada sebagian orang awam dan tidak ia dapati pada yang lainnya dan juga
tidak pada dirinya. Di antara keadaan seorang yang benar adalah mengambil dari
teman bergaulnya segala yang baik yang ia lihat terdapat padanya, baik ucapan
maupun perbuatan, dan meninggalkan apa yang buruk darinya. Apabila ia mengambil
manfaat yang ia dapatkan padanya, janganlah ia mengambil kerusakan dan
penyimpangan yang ada pada orang itu.” Demikian disebutkan dalam kitab
Qurrah al-‘Ain.
Selanjutnya
ia juga mengatakan, “Pemahaman itu bagi yang memilikinya merupakan
nikmat yang sangat besar, tetapi mereka terkadang tidak merasakannya sebagai
nikmat, karena mereka memandang hal itu bisa diperoleh dari membaca kitab,
misalnya. Dan orang yang melakukan muthala’ah kitab-kitab hendaknya memohon
pertolongan kepada Allah agar memudahkan pemahaman baginya dan dapat
membayangkannya sehingga ia dapat memperoleh apa yang dituntut dan Allah
membukakan baginya pemahaman dalam agama.”
Al-lmam
Ahmad bin Hasan Al-Attas mengatakan, “Ada dua perkara yang baik untuk
diperhatikan seorang penuntut ilmu: Pertama, ia tidak masuk pada
sesuatu dari ilmu-ilmu dan amal-amalnya melainkan dengan niat yang baik. Kedua,
ia memperhatikan buah dan hasilnya. Apabila tidak memperhatikan ini, ia tidak
mendapatkan manfaat.” la juga mengatakan, “Apabila seorang
penuntut ilmu membaca suatu kaidah dan ia ingin menghafalnya tetapi tidak ada
padanya tinta dan tidak ada pula pena, hendaklah ia menulisnya dengan jarinya
pada tangannya atau pada lengannya.”
”Wallahu
a’lam”
Di
antara adab seorang alim adalah mengatakan “Aku tidak tahu” atau
“Wallahu a’lam (Allah lebih mengetahui) apabila ia ditanya tentang sesuatu yang
tidak diketahuinya. Diriwayatkan dalam atsar dari Ibnu Umar, ia mengatakan, “Ilmu
itu ada tiga: kitab yang menuturkan, sunnah yang berlaku, dan ucapan ”Aku tidak
tahu’.” Al-lmam Muhyiddin An-Nawawi mengatakan, “Di antara
ilmu seorang alim adalah ia mengatakan Aku tidak tahu”, atau ‘Wallahu a’lam’,
mengenai sesuatu yang tidak diketahuinya.”
Diriwayatkan
dari Abdurrahman bin Abu Laila, “Aku telah berjumpa dengan 120 sahabat
Rasulullah. Apabila salah seorang di antara mereka ditanya tentang suatu
masalah, ia mengembalikannya kepada yang lain, begitulah sampai kembali lagi
kepada yang pertama.” Di dalam sebuah riwayat dikatakan, “Tidaklah seseorang
menyampaikan sebuah hadits melainkan ia ingin agar saudaranya mencukupinya, dan
tidaklah diminta untuk memberikan fatwa tentang sesuatu melainkan ingin agar
saudaranya mencukupinya dengan memberi fatwa (artinya menjawabnya sehingga ia
sendiri tidak perlu lagi menjawabnya).”
Masih
berkenaan dengan hal tersebut, diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas, “Barang
siapa memberikan ‘fatwa’ tentang segala sesuatu yang ditanyakan, berarti ia
orang gila.” Imam Malik mengatakan, “Barang siapa menjawab
suatu masalah, hendaklah sebelum menjawab ia memeriksa dirinya tentang
nasibnya nanti, di surga atau neraka, dan bagaimana dapat terbebas dari neraka.
Kemudian baru ia menjawab.” la juga mengatakan, ”Tidaklah aku
memberikan fatwa sampai tujuh puluh orang mengakui bahwa aku menguasai masalah
itu.”
Hendaknya
seseorang mengingat ucapan dari Rasulullah, yang mengatakan, “Orang
yang paling berani di antara kalian untuk memberikan fatwa, berarti ia paling
berani terhadap neraka.” Perhatikanlah keadaan para salaf, baik dari
kalangan sahabat, tabiin, maupun ulama-ulama sesudah mereka dan bagaimana
mereka melakukan pemeriksaan dalam memberikan fatwa meskipun mereka paling
memiliki kemampuan dalam ilmu, memiliki kekuatan dalam ijtihad, dan jauh dari
hawa nafsu. Sampai-sampai Imam Malik, salah seorang ulama salafush shalih yang
paling terkemuka, pernah hanya menjawab empat masalah dari sekitar empat puluh
masalah yang diajukan kepadanya, sedangkan mengenai masalah yang lainnya ia
mengatakan, “Allah lebih mengetahui.”
(Dikutip
oleh Tim Sarkub dari
Majalah Alkisah No. 22/2009)
Simak di: http://www.sarkub.com/2012/pentingnya-menjaga-adab/#ixzz3oiIUJj27
Powered by Menyansoft
No comments:
Post a Comment